Minggu, 10 Juni 2012

Hilangnya Pendidikan Berbasis Kejujuran

Setidaknya itulah yang terasa sejak pekan lalu, hari-hari ini, dan dua pekan ke depan, ketika ujian nasional (UN) digelar dari tingkat SMU, SMP, dan SD. Selalu yang muncul ke permukaan adalah hal-hal yang merisaukan tentang tiadanya kejujuran dalam pendidikan.

Pendidikan semestinyalah berlandaskan kejujuran. Sebab, kejujuran itulah sebenarnya yang menjadi moral dasar proses belajar-mengajar. Tanpa moral semacam itu, maka pendidikan hanya ada pada angka-angka evaluasi anak didik; tanpa mempersoalkan apakah hakikat dari pendidikan berhasil atau tidak.

Padahal, angka-angka itu bisa dibuat. Ironisnya, kadang-kadang bisa dipesan. Itulah sebabnya, setiap penyelenggaraan UN, kita selalu berkutat pada persoalan yang menjadi lingkaran setan: sebuah proses evaluasi yang telah ternoda, berapa pun kadarnya.

Sebab apa? Sebab, kita lebih percaya pada angka-angka. Kita mengabaikan proses dasar sebenarnya. Kita tidak konsentrasi penuh pada proses pendidikan, pengajaran, atau pengasahan.

Sebuah sekolah begitu bangga bisa meluluskan siswanya 100%. Juga kabupaten/kota atau provinsi. Kebanyakan targetnya adalah kelulusan 100%, tetapi tidak diimbangi dengan upaya sejak awal bagaimana mencapai target tersebut.

Hal serupa juga merasuk kepada kalangan orang tua siswa. Bagi mereka, kelulusan adalah hal terpenting. Tak peduli bagaimana cara mencapainya. Yang penting adalah secarik kertas bernama tanda kelulusan, bukan hakikat dari kelulusan itu sendiri.

Maka, setiap kali penyelenggaraan UN, yang lebih mencuat adalah keculasan-keculasan. Ihwal kebocoran soal UN lah. Soal beredarnya jawaban lah. Soal pesan SMS berisikan jawaban yang entah dikirim dari mana lah.

Kebijakan pendidikan kita, melalui proses perbaikan yang dilakukan secara berkala, kita akui mengalami kemajuan yang signifikan. Adanya political will pemerintah memberikan anggaran terbesar untuk pendidikan, patut kita syukuri. Sekolah, terutama dari tingkat pendidikan dasar, sudah mencapai ke pelosok-pelosok desa.

Tetapi, tetap harus ada yang kita sarankan kepada pemerintah. Yakni, bagaimana pemerintah bersama stakeholder lainnya, mengembalikan kejujuran ke pendidikan. Bahwa pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengejar angka pada kertas hasil evaluasi, melainkan adalah transformasi ilmu dari pendidik kepada anak didik. Itu lebih penting ketimbang angka evaluasi yang tinggi, tetapi dicapai dengan cara-cara yang tidak elok.

Jika paradigma pendidikan seperti itu, terutama berbasiskan kejujuran, sudah diterapkan dari hulu hingga hilir, kita yakin persoalan-persoalan yang selalu ramai setiap penyelenggaraan UN ini, takkan terjadi lagi. Kalaupun terjadi, yakinlah, tidak akan seriuh seperti saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar