Jumat, 27 Januari 2012

Jerman Hibahkan 28 Juta Euro untuk Pendidikan RI

Pemerintah Jerman memberikan pinjaman dan hibah pendidikan senilai 28 juta euro atau setara dengan Rp327,59 miliar (Rp11.699 per euro) kepada pemerintah Republik Indonesia.

Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rahmat Waluyanto menjelaskan, pinjaman tersebut akan dipergunakan untuk pendidikan serta latihan teknis dan kejuruan.

Menurut Rahmat, pinjaman dan hibah pendidikan yang disepakati pada 15 Desember lalu dialokasikan untuk membiayai program 'Sustainable Economic Development Through Technical and Vocational Education and Training (SED-TVET).'

"Sebagai pelaksana program adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)," kata Rahmat dalam pesan singkatnya kepada okezone, Selasa (17/1/2012).

Rahmat menjabarkan, fasilitas pendanaan yang difokuskan pada pendidikan teknis dan vokasi tersebut dapat digunakan untuk mendukung pengembangan mobil nasional Esemka di Tanah Air.

"Program SED-TVET itu meliputi antara lain pengadaan peralatan pelatihan jasa industri, quality control, komputer, dan software," imbuhnya.

Saat ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalokasikan 20 persen untuk anggaran penyelenggaraan pendidikan. Kemendikbud juga mendapat pinjaman lunak dan hibah pendidikan dari berbagai negara donor.

Dengan begitu, Rahmat berharap, melimpahnya dana untuk Kemendikbud dapat memajukan mutu pendidikan dan mendukung pemerataan akses pendidikan di Indonesia.

"Tidak ada anak yang tidak sekolah dan tidak ada gedung sekolah yang roboh atau bocor," pungkasnya.

Selasa, 24 Januari 2012

Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia


Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011

Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia


Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011
Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia 
Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011

Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia


Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011
Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia 
Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011

Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (Sebuah Analisis Kritis)

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internsional atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya. Icon SBI di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari bilingual sebagai medium of instruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan lain-lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai landasan hukum penyelenggaraan SBI, konsep dan karakteristik SBI, maupun analisis kritis terhadap kebijakan SBI.

A.     Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1.    Landasan Hukum
a.    UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
b.    Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
1).    Pemerataan dan Perluasan Akses
2).    Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing. Salah satunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk meningkatkan daya saing bangsa. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengembangan SBI pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
3).    Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik.
2.    Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
a.    Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme
Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.
Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.
b.    SNP + X (OECD)
Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong. 
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia)   dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/di-kembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator kinerja kunci tambahan. Dua cara itu adalah: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsure SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya. 
c.    Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional
1). Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush&Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush&Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan. 
Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional.  Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
2). Karakteristik Esensial
Karakteristik esensial dalam indikator kunci minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada table di bawah ini.
Karakteristik Esensial SMP-SBI sebagai Penjaminan Mutu
Pendidikan Bertaraf Internasional

No    Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam SNP)    Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)    Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)
I    Akreditasi    Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah    Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan
II    Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan    Menerapkan KTSP    Sekolah telah menerapkan system administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.
        Memenuhi Standar Isi    Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.
        Memenuhi SKL    Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP
            Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.
III    Proses Pembelajaran    Memenuhi Standar Proses    •    Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
•    Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
•    Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
•    Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.
IV    Penilaian    Memenuhi Standar Penilai-an    Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan system/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.
V    Pendidik    Memenuhi Standar Pen-didik    •    Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
•    Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
•    Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
VI    Tenaga Kependidikan    Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan    •    Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
•    Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah
•    Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
•    Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat
VII    Sarana Prasarana    Memenuhi Standar Sarana Prasarana    •    Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
•    Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
•    Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.
VIII    Pengelolaan    Memenuhi Standar Penge-lolaan    •    Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
•    Merupakan sekolah multi kultural
•    Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
•    Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain
•    Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah
IX    Pembiayaan    Memenuhi Standar Pem-biayaan    •    Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan


3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
a).    output (produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global.
Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

b).    proses pembelajaran SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pem-belajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6)dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
c).    input
    ciri input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memeliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
B.    Analisis Kritis Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
        Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang SBI tersebut.
1.     SBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan Pendekatan Cost Effectivenes (efektivitas biaya).
Pendekatan Cost Effectiveness adalah pendekatan yg menitikberatkan pemanfaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.    
Konsekwensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
2.    Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.
    Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
3.    Konsep SNP+X kurang jelas
        Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
        Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga menurut Satria Dharma, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur. 
4.    Potensi terjadi komersialisasi pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain. 

5.    Tujuan pendidikan yang misleading
Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut  mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
6.    Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
7.    Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. 
8.    Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya.   Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
C.    Kesimpulan dan Saran
        Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.
        Dalam perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual maupun sistem pembelajarannya. Ibarat kata pepatah tiada gading tak retak, maka pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam sebelum kebijakan tersebut bergulir.




Daftar Pustaka

Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Bush, Tony & Coleman, Merianne. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.
Haryana, Kir. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara., hal 59
http/www.satriadharma.wordpress.com
http/www.64.203.71.11.com

Senin, 23 Januari 2012

Perangkat Pembelajaran

Keberhasilan seorang guru dalam pembelajaran sangatlah diharapkan, untuk memenuhi tujuan tersebut diperlukan suatu persiapan yang matang. Suparno (2002) mengemukakan sebelum guru mengajar (tahap persiapan) seorang guru diharapkan mempersiapkan bahan yang mau diajarkan, mempersiapkan alat-alat peraga/parktikum yang akan digunakan, mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk memancing siswa aktif belajar, mempelajari keadaan siswa, mengerti kelemahan dan kelebihan siswa, serta mempelajari pengetahuan awal siswa, kesemuanya ini akan terurai pelaksanaannya di dalam perangkat pembelajaran.

Suhadi, (2007:24) mengemukakan bahwa “Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.”  Dari uraian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas, serangkaian perangkat pembelajaran yang harus dipersiapkan seorang guru dalam menghadapi pembelajaran di kelas, berikut dalam tulisan ini kami membatasi perangkat pembelajaran hanya pada: (a) Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku siswa (BS), Buku Pegangan Guru (BPG), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan Tes Hasil Belajar.
Berikut akan dipaparkan masing-masing perangkat pembelajaran yang dimaksud.
1)       Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana pelaksanaan pembelajaran merupakan panduan kegiatan guru dalam kegiatan pembelajaran sekaligus uraian kegiatan siswa yang berhubungan dengan kegiatan guru yang dimaksudkan. RPP ini disusun berdasarkan indikator-indikator yang telah disusun mengacu pada prinsip dan karakteristik pembelajaran yang dipilih berisi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar, RPP yang disusun mencakup alokasi waktu  2 ´ 40 menit (khusus SMP) untuk setiap pertemuan (tatap muka).
Berkaitan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lebih lanjut O’Meara (2000) menyarankan agar dapat digunakan secara praktis oleh guru dan dapat dengan mudah diobservasi. Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memuat tujuan isi atau materi pembelajaran, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, daftar pustaka dan penilaian. Rencana pelaksanaan pembelajaran disusun dengan baik, terurut dan didesain dengan baik.
2)       Buku
Buku sebagai rangkaian dari perangkat pembelajaran tentunya haru memberikan manfaat bagi guru khususnya siswa. Depdiknas (2008a:12) menjelaskan bahwa “Buku adalah bahan tertulis yang menyajikan ilmu pengetahuan buah pikiran dari pengarangnya.” Lebih lanjut dijelaskan dari sumber yang sama (Depdiknas, 2008a:12), bahwa:
Buku sebagai bahan tertulis merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis. Sedangkan buku yang baik adalah buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik dilengkapi dengan gambar dan keterangan-keterangannya, isi buku juga menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan ide penulisnya.
Selain penjelasan tersebut, dalam bagian yang sama, dijelaskan bahwa “Buku pelajaran berisi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk belajar ….” (Depdiknas, 2008a:12).
Sumber lain tentang buku adalah Permendiknas RI No. 2 tahun 2008. Tentang buku panduan pendidik dijelaskan dalam bab I, pasal 1, butir 4, bahwa “Buku panduan  pendidik adalah buku yang memuat prinsip, prosedur, deskripsi materi pokok, dan model pembelajaran untuk digunakan oleh para pendidik.” (Depdiknas, 2008b:2).
Beberapa batasan buku di atas menjelaskan bahwa buku sebagai salah satu bahan ajar jenis bahan cetak merupakan buku yang substansinya adalah pengetahuan, yang disusun berdasarkan analisis kurikulum, disusun untuk memudahkan guru dalam pembelajaran dan siswa belajar mencapai kompetensi yang ditetapkan kurikulum, dengan memperhatikan kebahasaan, kemenarikan, dan mencerminkan ide penulisnya. Buku yang memudahkan belajar siswa disebut buku siswa, dan buku yang memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran disebut sebagai buku panduan guru/pendidik, masing-masing memiliki struktur dan komponen yang khas.
Penyusunan bahan ajar cetak, khususnya buku, dijelaskan dalam Depdiknas (2008a:19) bahwa:
Sebuah buku akan dimulai dari latar belakang penulisan, definisi/ pengertian dari judul yang dikemukakan, penjelasan ruang lingkup pembahasan dalam buku, hukum atau aturan-aturan yang dibahas, contoh-contoh yang diperlukan, hasil penelitian, data dan inter petasinya, berbagai argumen yang sesuai disajikan.
Lebih lanjut diuraikan langkah-langkah yang harus dilakukan guru dalam menulis buku sebagai pelengkap perangkat pembelajaran adalah: (1) menganalisis kurikulum, (2) menentukan judul buku yang akan ditulis, (3) merancang outline buku agar memenuhi aspek kecukupan,  (4) mengumpulkan referensi sebagai bahan penulisan, (5) menulis buku dengan memperhatikan kebahasaan yang sesuai dengan pembacanya, (6) mengedit dan merevisi hasil tulisan, (7) memperbaiki tulisan,              (8) menggunakan berbagai sumber belajar yang relevan (Depdiknas, 2008a:20).
3)       Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
Perangkat pembelajaran menjadi pendukung buku dalam pencapaian kompetensi dasar siswa adalah lembar kegiatan siswa (LKS). Lembar ini diperlukan guna mengarahkan proses belajar siswa, dimana pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik, maka dalam serangkaian langkah aktivitas siswa harus berkenaan dengan tugas-tugas dan pembentukan konsep matematika. Dengan adanya lembar kegiatan siswa ini, maka partisipasi aktif peserta didik sangat diharapkan, sehingga dapat memberikan kesempatan lebih luas dalam proses konstruksi pengetahuan dalam dirinya.
Trianto (2007a:73) menguraikan bahwa lembar kegiatan siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah. Lembar kegiatan ini dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen atau demonstrasi.
Untuk menyusun perangkat pembelajaran berupa LKS, Depdiknas (2008b:23) menguraikan rambu-rambunya, bahwa LKS akan memuat paling tidak: judul, kompetensi dasar yang akan dicapai, waktu penyelesaian peralatan/ bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, informasi singkat, langkah kerja, tugas yang harus dilakukan, dan laporan yang harus dikerjakan.
Langkah-langkah persiapan LKS dijelaskan dalam Depdiknas (2008a: 23-24) sebagai berikut:
a.       Analisis kurikulum. Analisis ini dilakukan dengan memperhatikan materi pokok, pengalaman belajar siswa, dan kompetensi yang harus dicapai siswa.
b.       Menyusun peta kebutuhan LKS. Peta kebutuhan LKS berguna untuk mengetahui jumlah kebutuhan LKS dan urutan LKS.
c.        Menentukan judul-judul LKS. Judul LKS harus sesuai dengan KD, materi pokok dan pengalaman belajar.
d.       Penulisan LKS. Langkah-langkahnya: (1) perumusan KD yang harus dikuasai, (2) menentukan alat penilaian, (3) penyusunan materi dari berbagai sumber, (4) memperhatikan struktur LKS, yang meliputi: (a) judul, (b) petunjuk belajar, (c) kompetensi yang akan dicapai, (d) informasi pendukung, (e) tugas dan langkah-langkah kerja, dan (f) penilaian.
4)       Tes Hasil Belajar (THB)
Untuk menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masing-masing. Namun untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini, antara lain bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila Kompetensi Dasar (KD)-nya dapat dicapai.
Untuk mengetahui tercapai tidaknya KD, guru perlu mengadakan tes setiap selesai menyajikan satu bahasan kepada siswa. Fungsi penilaian ini adalah memberikan umpan balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program berikutnya bagi siswa belum berhasil.
Tes hasil belajar menurut Trianto (2007a:76) adalah:
Butir tes yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, tes ini dibuat mengacu pada kompetensi dasar yang ingin dicapai, dijabarkan ke dalam indikator pencapaian hasil belajar dan disusun berdasarkan kisi-kisi penulisan butir soal lengkap dengan kunci jawabannya serta lembar observasi penilaian psikomotor kinerja siswa.
Sejalan pendapat di atas, Hudoyo (1988:144) mengemukakan bahwa:
Cara menilai hasil belajar matematika biasanya menggunakan tes. Maksud tes yang utama adalah mengukur hasil belajar yang dicapai oleh seseorang yang belajar matematika. Di samping itu tes juga dipergunakan untuk menentukan seberapa jauh pemahaman terhadap materi yang telah dipelajari.
Untuk mengukur hasil belajar digunakan tes hasil belajar, Subino, (1987) mengatakan bahwa Idealnnya sebelum tes dipergunakan maka tes tersebut harus memenuhi syarat-syarat tes yang baik memenuhi kriteria validitas dan reliabel. Validitas adalah ketepatan tes dalam mengukur apa yang harus diukur, seberapa baikkah tes tersebut dapat melaksanakan tugas yang diembannya, sedangkan realiabilitas adalah Kekonsistenan alat ukur (keanjengan).
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2008a. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA, Dirjen Mandikdasmen, Depdiknas.
_______. 2008b. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 2 tahun 2008 Tentang Buku. Jakarta: Depdiknas.
Hudoyo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Suparno,P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisus
Trianto, 2007a. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Surabaya: Prestasi Pustaka
______. 2007b. Model Pembelajaran inovatif Berorientasi Konstrutivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka

KTSP: PENGEMBANGAN RPP

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berlandaskan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, berkewajiban menetapkan berbagai peraturan tentang standar penyelenggaraan pendidikan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi: (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Dalam pencapaian standar isi (SI) yang memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dicapai oleh peserta didik setelah melalui pembelajaran dalam jenjang dan waktu tertentu, sehingga pada gilirannya mencapai standar kompetensi lulusan (SKL) setelah menyelesaikan pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu secara tuntas. Agar peserta didik dapat mencapai SK, KD, maupun SKL secara optimal, perlu didukung oleh berbagai standar lainnya dalam sebuah sistem yang utuh. Salah satu standar tersebut adalah standar proses.
PP nomor 19 tahun 2005 yang berkaitan dengan standar proses mengisyaratkan bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan perencanaan pembelajaran, yang kemudian dipertegas malalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal, baik yang menerapkan sistem paket maupun sistem kredit semester (SKS).
Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Selain itu, pada lampiran Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, juga diatur tentang berbagai kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik, baik yang bersifat kompetensi inti maupun kompetensi mata pelajaran. Bagi guru pada satuan pendidikan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), baik dalam tuntutan kompetensi pedagogik maupun kompetensi profesional, berkaitan erat dengan kemampuan guru dalam mengembangkan perencanaan pembelajaran secara memadai.
Oleh karena itu, disamping sebagai implementasi dari Permendiknas nomor 25 tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di Lingkungan Ditjen Mandikdasmen bahwa rincian tugas Subdirektorat Pembelajaran – Dit. PSMA (yang antara lain disebutkan bahwa melaksanakan penyiapan bahan penyusunan pedoman dan prosedur pelaksanaan pembelajaran, termasuk penyusunan pedoman pelaksanaan kurikulum) dipandang perlu menyusun panduan bagi guru SMA sehingga dapat dijadikan salah satu referensi dalam pengembangan RPP.
B. Tujuan
Penyusunan Panduan ini bertujuan :
1. Menjelaskan pengertian RPP;
2. arti penting proses perencanaan pembelajaran dalam proses pencapaian kompetensi siswa.
3. Menjelaskan komponen RPP
4. Menjelaskan prinsip-prinsip penyusunan RPP
5. Menjelaskan langkah-langkah penyusunan RPP.
C. Manfaat
Perencanaan pembelajaran merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Melalui perencanaan pembelajaran yang baik, guru akan lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran dan siswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Perencanaan pembelajaran dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sekolah, mata pelajaran, dsb.
Buku ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan perencanaan pembelajaran, seperti kepala sekolah, guru, pengawas sekolah menengah atas maupun pembina pendidikan lainnya. Bagi kepala sekolah panduan ini dapat dijadikan bahan pembinaan terhadap guru sebagai bagian dari tugasnya dalam melakukan supervisi terhadap proses perencanaan pembelajaran.
Bagi guru, panduan ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu referensi untuk meningkatkan kompetensi dalam pengembangan perencanaan pembelajaran. Sehingga akan menghasilkan satu kegiatan pembelajaran yang berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Bagi pengawas sekolah menengah atas atau para pembina pendidikan lainnya keberadaan panduan juga diharapkan mendatangkan manfaat dalam melakukan supervisi dan memberikan layanan profesional, berupa bimbingan teknis dan pendampingan secara terprogram dan berkelanjutan.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
A. Pengertian
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa:
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.
Sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan ke­giatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
B. Komponen RPP
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP adalah:
1. Identitas mata pelajaran, meliputi:
a. satuan pendidikan,
b. kelas,
c. semester,
d. program studi,
e. mata pela­jaran atau tema pelajaran,
f. jumlah pertemuan.
2. standar kompetensi
merupakan kualifikasi kemam­puan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.
3. kompetensi dasar,
adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran ter­tentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompe­tensi dalam suatu pelajaran.
4. indikator pencapaian kompetensi,
adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilai­an mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja opera­sional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. tujuan pembelajaran,
menggambarkan proses dan ha­sil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. materi ajar,
memuat fakta, konsep, prinsip, dan pro­sedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompe­tensi.
7. alokasi waktu,
ditentukan sesuai dengan keperluan un­tuk pencapaian KD dan beban belajar.
8. metode pembelajaran,
digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela­jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemi­lihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situ­asi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
9. kegiatan pembelajaran :
a. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un­tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b.Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di­lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang­kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un­tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau simpul­an, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindaklanjut.
10. Penilaian hasil belajar
Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kom­petensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kom­petensi.
C. PRINSIP-PRINSIP PENYUSUNAN RPP
1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, krea­tivitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.
3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis Proses pembelajaran dirancang untuk mengembang­kan kegemaran membaca, pemahaman beragam ba­caan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut
RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.
5. Keterkaitan dan keterpaduan
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, ke­giatan pembelajaran, indikator pencapaian kompeten­si, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengako­modasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegra­si, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
D. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN RPP
Langkah-langkah minimal dari penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dimulai dari mencantumkan Identitas RPP, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian. Setiap komponen mempunyai arah pengembangan masing-masing, namun semua merupakan suatu kesatuan.
Penjelasan tiap-tiap komponen adalah sebagai berikut.
1. Mencantumkan Identitas
Terdiri dari: Nama sekolah, Mata Pelajaran, Kelas­, Semester, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Alokasi Waktu.
Hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. RPP boleh disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
b. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus. (Standar kompetensi – Kompetensi Dasar – Indikator adalah suatu alur pikir yang saling terkait tidak dapat dipisahkan)
c. Indikator merupakan:
§ ciri perilaku (bukti terukur) yang dapat memberikan gambaran bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi dasar
§ penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
§ dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, satuan pendidikan, dan potensi daerah.
§ rumusannya menggunakan kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
§ digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
d. Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar, dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan (contoh: 2 x 45 menit). Karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada kompetensi dasarnya.
2. Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Output (hasil langsung) dari satu paket kegiatan pembelajaran.
Misalnya:
Kegiatan pembelajaran: ”Mendapat informasi tentang sistem peredaran darah pada manusia”.
Tujuan pembelajaran, boleh salah satu atau keseluruhan tujuan pembelajaran, misalnya peserta didik dapat:
1. mendeskripsikan mekanisme peredaran darah pada manusia.
2. menyebutkan bagian-bagian jantung.
3. merespon dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman sekelasnya.
4. mengulang kembali informasi tentang peredaran darah yang telah disampaikan oleh guru.
Bila pembelajaran dilakukan lebih dari 1 (satu) pertemuan, ada baiknya tujuan pembelajaran juga dibedakan menurut waktu pertemuan, sehingga tiap pertemuan dapat memberikan hasil.
3. Menetukan Materi Pembelajaran
Untuk memudahkan penetapan materi pembelajaran, dapat diacu dari indikator.
Contoh:
Indikator: Peserta didik dapat menyebutkan ciri-ciri kehidupan.
Materi pembelajaran:
Ciri-Ciri Kehidupan:
Nutrisi, bergerak, bereproduksi, transportasi, regulasi, iritabilitas, bernapas, dan ekskresi.
4. Menentukan Metode Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih.
Karena itu pada bagian ini cantumkan pendekatan pembelajaran dan metode yang diintegrasikan dalam satu kegiatan pembelajaran peserta didik:
a. Pendekatan pembelajaran yang digunakan, misalnya: pendekatan proses, kontekstual, pembelajaran langsung, pemecahan masalah, dan sebagainya.
b. Metode-metode yang digunakan, misalnya: ceramah, inkuiri, observasi, tanya jawab, e-learning dan sebagainya.
5. Menetapkan Kegiatan Pembelajaran
a. Untuk mencapai suatu kompetensi dasar harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Langkah-langkah minimal yang harus dipenuhi pada setiap unsur kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan Pendahuluan
§ Orientasi: memusatkan perhatian peserta didik pada materi yang akan dibelajarkan, dengan cara menunjukkan benda yang menarik, memberikan illustrasi, membaca berita di surat kabar, menampilkan slide animasi dan sebagainya.
§ Apersepsi: memberikan persepsi awal kepada peserta didik tentang materi yang akan diajarkan.
§ Motivasi: Guru memberikan gambaran manfaat mempelajari gempa bumi, bidang-bidang pekerjaan berkaitan dengan gempa bumi, dsb.
§ Pemberian Acuan: biasanya berkaitan dengan kajian ilmu yang akan dipelajari. Acuan dapat berupa penjelasan materi pokok dan uraian materi pelajaran secara garis besar.
§ Pembagian kelompok belajar dan penjelasan mekanisme pelak­sana­an pengalaman belajar (sesuai dengan rencana langkah-langkah pembelajaran).
2. Kegiatan Inti
Berisi langkah-langkah sistematis yang dilalui peserta didik untuk dapat mengkonstruksi ilmu sesuai dengan skemata (frame work) masing-masing. Langkah-langkah tersebut disusun sedemikian rupa agar peserta didik dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagaimana dituangkan pada tujuan pembelajaran dan indikator.
Untuk memudahkan, biasanya kegiatan inti dilengkapi dengan Lembaran Kerja Siswa (LKS), baik yang berjenis cetak atau noncetak. Khusus untuk pembelajaran berbasis ICT yang online dengan koneksi internet, langkah-langkah kerja peserta didik harus dirumuskan detil mengenai waktu akses dan alamat website yang jelas. Termasuk alternatif yang harus ditempuh jika koneksi mengalami kegagalan.
3. Kegiatan penutup
§ Guru mengarahkan peserta didik untuk membuat rangkuman/simpulan.
§ Guru memeriksa hasil belajar peserta didik. Dapat dengan memberikan tes tertulis atau tes lisan atau meminta peserta didik untuk mengulang kembali simpulan yang telah disusun atau dalam bentuk tanya jawab dengan mengambil ± 25% peserta didik sebagai sampelnya.
§ Memberikan arahan tindak lanjut pembelajaran, dapat berupa kegiatan di luar kelas, di rumah atau tugas sebagai bagian remidi­/pengayaan.
b. Langkah-langkah pembelajaran dimungkinkan disusun dalam bentuk seluruh rangkaian kegiatan, sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang dipilih, menggunakan urutan sintaks sesuai dengan modelnya. Oleh karena itu, kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup tidak harus ada dalam setiap pertemuan.
6. Memilih Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional, dan bisa langsung dinyatakan bahan ajar apa yang digunakan. Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referensi, dalam RPP harus dicantumkan bahan ajar yang sebenarnya.
Jika menggunakan buku, maka harus ditulis judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu.
Jika menggunakan bahan ajar berbasis ICT, maka harus ditulis nama file, folder penyimpanan, dan bagian atau link file yang digunakan, atau alamat website yang digunakan sebagai acuan pembelajaran.
7. Menentukan Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai.