Selasa, 24 Januari 2012

Nasib Profesor dan Program Doktor di Indonesia


Mengacu ke Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mence-rahkan masyarakat.
Karya ilmiah yang dimaksud-kan tentu saja yang serius. Namun, masih belum jelas seserius apa karya ilmiah dimaksud. Tatkala Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No 739/E/C/2011 tentang perpanjangan batas pensiun profe­sor diedarkan, barulah masalah kualitas karya ilmiah yang diinginkan pemerintah menjadi je­las. Dalam butir 2 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa karya ilmiah yang dipersyaratkan ter­sebut adalah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional dan yang terdaftar pada "Scopus" atau yang setara.
Lalu untuk profesor yang ma­sih aktif dan masih jauh dari usia pensiun, apakah harus melahirkan karya ilmiah seperti itu juga? Kalau tidak tercapai, apa akibatnya? Apakah tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik yang dinikmati profesor selama ini akan dicabut?
Kalau memang tunjangan-tunjangan itu dicabut, gelar pro­fesor tentu hanya jadi semacam "pepesan kosong" (terbungkus dengan baik dan mengundang selera, tetapi isinya kosong). Ka­lau tidak dicabut, pemerintah ju­ga berhak bertanya: untuk apa gelar profesor kalau dalam tiga tahun tak satu pun publikasi internasional bisa dilahirkan?
Untuk melahirkan karya il­miah yang serius, seorang pro­fesor harus melakukan penelitian yang serius. Inilah hal yang sa­ngat mendebarkan dan ujian yang amat menggusarkan para profesor. Paling tidak karena empat alasan utama.
Pertama, selama ini posisi pro­fesor selalu menjadi penguji (bagi mahasiswanya). Sekarang posisinya terbalik para profesor yang harus diuji dan harus membuktikan kemampuan mereka.
Kedua, selama ini sangat sedikit dosen yang melakukan penelitian (tak sampai 10 persen dari total dosen yang ada).
Ketiga, dari dosen yang sangat sedikit tersebut, sangat sedikit pula yang memublikasikan karya ilmiahnya, apalagi di jurnal internasional.
Keempat, sudah jadi rahasia umum profesor adalah stasiun terakhir dalam perjalanan dunia akademik. Dalam pengertian, sa­ngat sedikit profesor yang mau dan punya waktu meneliti dan memublikasikan penelitiannya secara internasional setelah me-reka mendapat gelar profesor. Namun, dengan ketentuan baru ini, para profesor tentu tak punya alternatif lain: harus melakukan penelitian dan memublikasikan hasilnya di jurnal internasional.
Penambahan doktor
Sudah terlalu sering dianalisis bahwa jumlah doktor di Indo­nesia dan jumlah publikasi inter­nasional yang dilakukan peneliti/dosen di Indonesia kalah jauh dibandingkan Malaysia, Arab Saudi, Banglades, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan Nasional tentu perlu kerja keras mengatasi persoalan ini. Melalui program 5.000 doktor, bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, pemerintah berusaha keras menambah jumlah doktor secara signifikan. Upaya ini harus kita apresiasi karena dana yang dipakai adalah dana dari pengha-pusan utang Pemerintah Indo­nesia oleh Pemerintah Jerman.
Sementara penambahan jum­lah doktor melalui program pascasarjana di dalam negeri ber-jalan sangat lambat. Sebab, tidak semua universitas negeri punya program S-2 dan S-3 bidang keahlian tertentu.
Ada tiga saran yang perlu dipertimbangkan sehubungan de­ngan masalah-masalah yang dikemukakan di atas.
Pertama, program doktor (S-3) di Indonesia sebaiknya disederhanakan dan jumlah mata kuliah diminimalkan atau dihilangkan sehingga mahasiswa pu­nya banyak waktu untuk me­neliti. Di jenjang S-l dan S-2, para kandidat doktor sesungguhnya sudah mengambil banyak sekali mata kuliah. Program doktor seharusnya dapat dipahami secara sangat sederhana, tidak perlu dipersulit prosedur dan penanganannya.
Secara tradisi, terutama di Eropa, sejak awal berlangsungnya program pendidikan doktor, peran profesor sangat dominan dan peran institusi sangat sedikit. Proses pembentukan seorang doktor adalah proses kloning se­hingga kandidat doktor tersebut mampu berbuat seperti kemam-puan pembimbingnya. Profesor dan anak asuhnya (calon doktor) bekerja bersama dalam labora-torium, sampai suatu saat anak asuhnya betul-betul dapat dile-pas (diwisuda) sebagai doktor.
Kedua, khusus untuk program doktor (S-3), profesor di satu universitas yang tak ada S-3-nya diberi juga hak membimbing ca­lon doktor. Ekstremnya, program pascasarjana hanya mengelola pendidikan magister (S-2), sedangkan untuk program doktornya diserahkan kepada profesor setiap universitas.
Profesor yang ditunjuk mem­bimbing calon doktor tentu yang telah memublikasikan karya il­miahnya secara internasional dan di jurnal berpengaruh. Untuk saat ini kita punya sekitar 4,000 profesor yang tersebar di seluruh Nusantara. Banyak dari profesor tersebut tak punya mahasiswa S-3 karena bidang keahliannya tak ada program S-3-nya.
Ketiga, syarat untuk bisa di-luluskan sebagai doktor harus benar-benar terukur dan diperketat. Kandidat doktor harus punya publikasi internasional di "Sco­pus" sebelum bisa dinyatakan lu­lus. Dengan adanya syarat ter­akhir ini, Dikti tak perlu khawatir mutu doktor yang dihasilkan.
Kalau kebijakan pembimbing-an doktor seperti ini bisa ditempuh, profesor-profesor yang tak punya program S-3 di universitasnya tetap dapat berkiprah. Sebab, untuk menghasilkan kar­ya ilmiah secara internasional harus dilakukan penelitian se­cara serius. Untuk melakukan pe­nelitian dengan serius, seorang profesor harus membimbing pa­ra kandidat doktor.
Kebijakan ini akan mengha­silkan tiga dampak positif secara serentak: meningkatkan jumlah doktor, meningkatkan jumlah publikasi internasional, dan menyelamatkan profesor dari ancaman "pepesan kosong".
Sumber:
Syamsul Rizal; Artikel pada Rubrik "Opini"; Kompas Sabtu 20 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar