PAHLAWAN DARI BAWEAN
Harun
Thohir Pahlawan Nasional asal Gresik
Usaha
mempertahankan kedaulatan negara yang dilakukan para tokoh di masa perjuangan
sudah selayaknya kita hargai. Salah satu tokoh yang berperan adalah Harun bin
Said alias Tohir. Prajurit KKO kelahiran Pulau Bawean, 14 April 1947 ini selalu
siap siaga menjalankan tugas di medan pertempuran. Ketika bertempur,
keselamatan jiwa menjadi taruhannya. Meski demikian, pada hakikatnya seorang
prajurit bukan orang nekad yang diberi seragam militer, tetapi seorang pemberani. Selayaknya seorang manusia biasa
yang memiliki rasa takut, seorang prajurit harus sanggup menghalau ketakutannya
itu dengan rasa tanggung jawabnya akan tugas yang diamanatkan. Keberanian dan
kesiapsediaan itu pula yang dimiliki oleh Kopral Harun.
Nama lengkap dari Harun Thohir adalah Kopral
Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar. Beliau adalah salah satu
anggota Korps Komando AL Republik Indonesia dan tercatat sebagai salah satu
tokoh asal Gresik yang menyandang gelar pahlawan nasional.
Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah
Atas, ia tertarik untuk memasuki dinas Angkatan Laut. Pada bulan Juni 1964,
Harun diterima sebagai anggota Korps Komando (sekarang Korps Marinir) Angkatan
Laut Republik Indonesia.
Pada saat itu, Pemerintah Indonesia sedang
menjalankan politik konfrontasi terhadap Pemerintah Malaysia, termasuk
Singapura. Pada tanggal 16 September 1963 dilaksanakan proklamasi kemerdekaan
Federasi Malaysia. Namun, proklamasi itu dilakukan sebelum misi PBB
menyampaikan laporan peninjauannya. Salah satu anggota misi itu datang dari
Indonesia dan Malaysia yang mengalami keterlambatan dalam peninjauannya. Akibat
keterlambatan tersebut, Indonesia menuding pemerintah Inggris
menghalang-halangi utusan dari kedua negara serumpun itu.
Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap
proklamasi itu sebagai pelanggaran terhadap martabat PBB dan juga melanggar
pernyataan bahwa Indonesia, Filipina, dan Malaysia sepakat untuk memecahkan
masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari rencana pembentukan Federasi
Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura, dan Serawak (Kalimantan Utara).
Oleh pemerintah Indonesia, penandatanganan
dokumen pembentukan Federasi Malaysia di London yang dilakukan Perdana
Menteri Tengku Abdul Rahman pada tanggal 9 Juli
1963 itu dianggap sebagai satu tindakan unilateral yang beritikad buruk dan
menyimpang dari pengertian bersama.
Proklamasi Federasi Malaysia di mata masyarakat
Jakarta merupakan perwujudan act of bad faith. Serangkaian demonstrasi pun
digelar dan dibalas dengan hal yang sama di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur.
Puncaknya, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia pun terputus.
Pasca putusnya hubungan diplomatik antar kedua negara tersebut, terjadi
berbagai konfrontasi berupa konflik bersenjata dan aksi militer.
Konfrontasi itu dikenal dengan nama Dwi Komando
Rakyat (Dwikora). Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Sukarelawan Dwikora.
Dengan semangat mudanya, Kopral Harun ikut serta sebagai sukarelawan dalam
dinas militer itu. Para sukarelawan itu berdiri di barisan terdepan untuk
membuka jalan bagi operasi-operasi militer ke daerah musuh. Sebagai seorang
anggota sukarelawan, ia ditempatkan di Pulau Sambu, Kepulauan Riau untuk
melakukan serangkaian aksi ke Singapura.
Pada bulan Maret 1965, Harun mendapat tugas
untuk memasuki Singapura bersama dengan Kopral KKO Usman dan Gani bin Arup.
Dengan menggunakan perahu karet, keduanya berangkat pada tanggal 8 Maret 1965
dengan membawa 12,5 kilogram bahan peledak. Mereka mendapat perintah untuk
melakukan sabotase ke sasaran-sasaran penting di kota Singapura. Sasaran tidak
ditentukan dengan pasti, jadi harus ditentukan sendiri.
Tanggal 10 Maret 1965 mereka berhasil meledakkan
bangunan Mac Donald House yang terletak di pusat kota. Peristiwa peledakan itu
pun menimbulkan kegemparan dan kekacauan bagi masyarakat Singapura. Untuk
mencari dan menangkap orang yang meledakkan bangunan tersebut dikerahkanlah
alat-alat keamanan.
Setelah melakukan aksinya, Harun dan Usman
melarikan diri dan dengan susah payah berhasil mencapai daerah pelabuhan,
sedangkan Gani bin Arup mencari jalan lain. Sebuah motor boat pun berhasil
mereka rampas. Keduanya kemudian berangkat kembali ke Pulau Sambu. Namun
sayang, di tengah jalan, motor boat mengalami kerusakan mesin.
Mereka akhirnya berhasil ditangkap oleh patroli
musuh pada 13 Maret 1965. Keduanya dibawa kembali ke Singapura untuk diadili.
Pengadilan Singapura menjatuhkan vonis hukuman mati. Pemerintah Indonesia pun
melakukan berbagai usaha untuk meminta pengampunan atau keringanan, hukuman,
namun tidak berhasil.
Di penjara Changi, Singapura, kedua prajurit itu
menjalani hukuman gantung pada pagi hari tanggal 17 Oktober 1968. Jenazah
mereka dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Kopral KKO TNI
Anumerta Harun bin Said dianugerahi gelar pahlawan Nasional
berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun
1968, tanggal 17 Oktober 1968.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar